"Kita tidak apa-apa impor kedelai, Tapi kita olah yang bagus biar tempe turunannya bisa diekspor ke luar negeri," kata Sekretaris Jendral Forum Tempe Indonesia (FTI), Dadi Maskar kepada detikFinance, Rabu (20/4/2011).
Untuk mewujudkan keinginan itu, saat ini FTI sedang melakukan edukasi kepada pengrajin tempe agar dapat membuat tempe yang berkualitas dan berstandar. Sampai saat ini, baru ada satu tempat di Semarang yang sudah teredukasi dan dapat membuat tempe secara higienis.
"Sekarang memecahkan kedelainya sudah pakai mesin, sudah tidak diinjak-injak lagi," jelas Dadi.
Saat ini, kata Dadi, Indonesia masih mengimpor sekitar 1,4 sampai 1,6 juta ton per tahun. Kebutuhan nasional bisa mencapai 2,2 juta ton per tahun dan Indonesia hanya produksi 600 sampai 800 ribu ton per tahunnya.
"Ya memang harus impor," katanya.
Dadi menambahkan, para pengrajin tempe tidak terpengaruh terhadap melonjaknya harga kedelai. Menurutnya, industri penghasil tempe adalah usaha kecil menengah (UKM) jadi harga akan sangat mempengaruhi daya beli konsumen.
"Yang namanya UKM itu sangat sensitif dengan harga. kalau harganya naik, biasanya hanya mengecilkan ukuran bukan naikin harga," ujarnya.
Ia mengungkapkan, sebenarnya para pengrajin tempe tidak melulu memikirkan ekonomi dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Karakteristik UKM yang menyebabkan industri tempe hanya menjadi tempat perputaran uang yang kecil.
"Yang penting itu beli kedelai lagi besok," pungkasnya.
(qom/qom)